Matahari terbit, padang pasir, dan perbukitan nan hijau telah lama menjadi daya tarik Bromo. Menjadikan gunung aktif yang penjuru-penjurunya bersemayam di empat kabupaten Jawa Timur sebagai salah satu destinasi favorit para pelancong, baik lokal maupun mancanegara.
Namun, Bromo sejak sedekade terakhir tidak hanya identik dengan kecantikan lanskapnya, melainkan juga dengan jazz. Itu ialah upaya Sigit Pramono.
Bankir kawakan yang juga penggemar fotografi landscape tersebut menginisiasi Jazz Gunung Bromo pada 2009. Sejak itu, festival di panggung terbuka tersebut rutin digelar setiap tahun.
“Kalau kata orang, konser bisa bertahan hingga tahun ke-8 berarti aman, kita sudah tahun ke-12. Berbagai musisi lintas genre pernah main di sini. Yang belum datang Haji Rhoma (Rhoma Irama). Tapi, kata almarhum Mas Djaduk (Djaduk Ferianto), beliau sudah mengiyakan,” jelasnya.
Untuk menggaet penonton, Jazz Gunung memang kerap menampilkan berbagai musisi dari berbagai genre. Bahkan, musisi tradisional seperti Soimah hingga mendiang Didi Kempot sempat mendapat panggung di Jazz Gunung.
Di masa pandemi covid-19 pun Jazz Gunung Bromo tetap berlangsung walau secara hybrid. “Yang hadir langsung, protokol kesehatan sangat ketat. Tidak hanya 3M, kita terapkan 3W, yakni wajib tes antigen, wajib masker, dan wajib jaga jarak,” kata Sigit yang juga penggagas Gerakan Pakai Masker (GPM).
Berkat Jazz Gunung Bromo, pamor Gunung Bromo makin meningkat. Perekonomian lokal pun makin terangkat. “Ini jadi kebanggaan kita, mengemas wisata dengan cara yang berbeda. Orang mesti ditahan lebih lama di tempat wisata, supaya belanja lebih banyak,” jelas Sigit.
Tiap tahun, ketika gelaran Jazz Gunung berlangsung, masyarakat setempat memang merasakan betul manfaat yang luar biasa. Mulai dari pengusaha penginapan dan hotel, restoran, pemilik jip dan kuda, hingga penjaja souvenir kelimpahan berkah. “Kalau yang nonton jazz gunung itu sekitar 2.000 orang, berarti setidaknya dibutuhkan 1.000 kamar. Sedangkan, hotel-hotel di sekitar Bromo jumlahnya hanya 300-an saja. Jadi, rumah-rumah penduduk yang disewakan turut penuh, hotel-hotel di Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, hingga di Malang turut dihinggapi para tamu,” jelas Sigit.
Karena begitu besar jasanya tersebut, ia menjadi tokoh sepuh yang dihormati di kalangan Suku Tengger. “Bagi saya ini tantangan untuk terus membantu masyarakat di sana, memajukan wisata Bromo,” ujarnya merendah.
Sahabat Media Indonesia, selamat menyimak kisah selengkapnya dalam Diksi (Diskusi dan Refleksi) bersama Hariyanto Boejl edisi Sigit Pramono episode pertama.

Media Indonesia adalah sebuah surat kabar harian yang terbit di Jakarta yang merupakan salah satu surat kabar umum terbesar di Indonesia.
Discussion about this post