Karya seni visual bisa disandingkan dengan seni musik seperti yang terlihat di festival Jazz Gunung. Kehadiran mereka menjadi hiburan alternatif dalam memperluas cakrawala keindahan yang menyandingkan irama visual dengan harmoni musikal dan dinginnya alam pegunungan.
Sebuah lukisan berwarna merah menyala berukuran 42 sentimeter (cm) x 29,7 cm terpajang di antara deretan lukisan lain yang dipamerkan di salah satu sudut ruangan di Jiwa Jawa Resort, Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (26/7/2025). Lukisan berjudul ”Burned but Fruitful” dengan media cat air di atas kertas itu merupakan karya dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Deni Junaedi.
Penikmat jazz tidak hanya dimanjakan telinga mereka, tetapi juga diajak merasakan resonansi visual yang menyatu dengan suasana magis pegunungan Bromo.
Lukisan tahun 2020 ini menggambarkan sebuah pohon yang diletakkan dalam pembakaran besi, tetapi tetap bisa tumbuh dan berbuah. ”Meskipun kita dihalangi, dihina, atau direndahkan, tetaplah tumbuh dan berbuah,” ujar Deni.
Meskipun tidak terlalu besar, lukisan ini sangat memanjakan mata karena detail yang ditunjukkan oleh Deni. Perpaduan warnanya apik dan garisnya tegas serta meyakinkan. Padahal, sangat sulit menaklukkan media cat air karena sifatnya yang langsung kering.

Selain ”Burned but Fruitful”, Deni juga memamerkan dua karya lain dengan media yang sama. ”The Sent Down Book and Iron” berukuran 59 cm x 83 cm yang dibuat pada 2020 dan ”Jawa Village” berukuran 10,6 cm x 19 cm yang dibuat tahun 2019. Dua lukisan tersebut juga menampilkan karya yang detail.
Deni merupakan satu dari 40-an peserta pameran yang merupakan dosen dan mahasiswa ISI. Mereka berasal dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Fakultas Seni Media Rekam, serta Fakultas Seni Pertunjukan.
Selain menampilkan karya dua dimensi, ada beberapa karya tiga dimensi, seperti patung perunggu berjudul ”Simfoni Jiwa” karya Yoga Budhi Wantoro. Patung berdimensi 83 x 75 x 174 cm ini menggambarkan seorang perempuan violinis yang sedang memainkan biolanya.
Patung ini tidak sekadar menggambarkan karya realistis, tetapi juga sebagai simbol keharmonisan antara emosi, keindahan, dan kekuatan feminin. Gerakan tubuh dan ekspresi wajahnya ditampilkan dalam kondisi ekstase musikal sehingga biolanya seolah menggetarkan ruang tak kasat mata di sekitarnya.

Tak hanya menampilkan karya dekoratif, pameran ini juga memajang desain produk yang fungsional, seperti kursi Oleor edisi kedua karya Rahmawan D Prasetya. Kursi berdimensi 49 x 60 x 86 cm ini berbahan baku kayu jati dan pelapis jok kain lurik tenun Yogyakarta. Tahap akhir produk ini menggunakan cat minyak natural atau lapisan pelindung bening.
Oleor 2 merupakan kursi kayu kontemporer yang memadukan desain minimalis modern dengan warisan budaya Jawa. Kursi ini mempertahankan bentuk yang rendah dan ringkas sekaligus memperkenalkan dimensi budaya baru melalui integrasi lurik yang merupakan kain tenun tradisional Yogyakarta.
Dudukan kursi ini seperti menjadi kanvas untuk bercerita. Lurik bergaris cokelat nila melambangkan keseimbangan dan kesederhanaan. Karya ini tidak sekadar berupa tempat duduk, tetapi juga menampilkan kearifan budaya lokal yang dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari secara halus dan relevan.
Karya konseptual pun menghiasi pameran ini seperti desain interior yang dibuat M Sholahuddin. Dia menampilkan dua desain kamar tidur elegan dan minimalis. Elegan terlihat dari penataan ruang yang rapi dengan cahaya lampu yang redup. Sementara karya minimalis terlihat dari desain untuk kamar laki-laki yang sederhana dan tak banyak ornamen, tetapi tetap terkesan mewah.

Rektor ISI Irwandi pun memamerkan karyanya dalam bentuk fotografi. Irwandi memotret Candi Prambanan yang diberi judul ”Life Story on Prambanan Temple”. Karya berukuran 29,7 x 42 cm itu mengambil salah satu bagian sisi relief di Candi Prambanan.
Dari catatan kuratorialnya, Mikke Susanto melihat bahwa kehadiran seni visual di Jazz Bromo tidak hanya menjadi pelengkap ruang, tetapi juga memperkaya pengalaman estetika para pengunjung. Seni visual berfungsi sebagai hiburan alternatif yang memperluas horizon keindahan, menyandingkan irama visual dengan harmoni musikal, dan dinginnya alam pegunungan.
”Penikmat jazz tidak hanya dimanjakan telinga mereka, tetapi juga diajak merasakan resonansi visual yang menyatu dengan suasana magis pegunungan Bromo,” tulis Mikke.
Pelaksana pameran Mohammad Rasyid Ridho menjelaskan bahwa pameran ini merespons konsep Jazz Gunung. Karena itu, semua karya lintas disiplin yang ada di ISI dipamerkan. Pameran yang baru pertama kali diselenggarakan oleh ISI di Jazz Gunung ini menjadi titik awal untuk perjalanan berikutnya.

Melalui pameran ini, ISI mencoba mendekatkan diri kepada masyarakat. Sebab, tak banyak masyarakat yang mengetahui kampus seni di Indonesia.
Penggagas Jazz Gunung, Sigit Pramono, pun menyambut positif pameran ini. Jazz Gunung selalu ada pameran seni seperti fotografi. Dia berharap gaung pameran seni pada festival kali ini lebih besar karena melibatkan ISI.
Karya anak-anak suku Tengger yang ada di Jawa Timur juga dilibatkan dalam pameran ini. Sebelumnya, mereka mengikuti lomba menggambar dan mewarnai. Dengan cara ini, anak-anak bisa terinspirasi untuk menjadi seniman.
Meskipun ibarat memindahkan galeri seni ke festival musik, pameran seni visual yang diselenggarakan mulai 19 Juli hingga 19 Agustus 2025 ini menjadi bagian dari sisi lain Jazz Gunung yang menarik untuk dinikmati. Tak hanya itu, pameran ini juga bisa menjadi pengalaman baru bagi pengunjung maupun penduduk sekitar yang belum mengenal seni visual.

Kompas.id adalah surat kabar nasional Indonesia di bawah naungan PT Kompas Media Nusantara
Discussion about this post