Penyanyi kawakan Ermy Kullit memukau penikmat musik lintas generasi di Jazz Gunung Slamet akhir pekan silam dengan vokalnya yang indah dan elegan. Sementara Sal Priadi, musisi muda yang tengah naik daun, mengaku tidak menyangka dirinya dipilih mewakili generasi muda dalam konser ini.
Ketika ditemui setelah sesi soundcheck di Bumi Perkemahan Palawi, Wana Wisata, Baturraden di kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah pada Sabtu (11/05) pagi, perempuan bernama lengkap Ermy Maryam Nurjannah Kullit ini bilang kendati lebih sering menyanyikan lagi pop, dirinya mengaku bisa menyanyikan lagu-lagu jazz.
Ermy Kullit masuk ke daftar penampil Jazz Gunung Slamet pada menit-menit terakhir setelah terjadi sejumlah perubahan dari rencana awal konser pembuka rangkaian Jazz Gunung Series 2024 itu.
Ini bukan kali pertama bagi perempuan kelahiran Manado 69 tahun silam itu ambil bagian dalam acara Jazz Gunung yang memadukan suasana alam pegunungan dengan irama musik jazz
Tahun lalu, dia tampil pada Jazz Gunung Bromo tahun lalu yang juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun dirinya berkarya di blantika musik Indonesia.
“Musik itu kehidupan saya. Dunia tanpa musik, jadi kayak apa, ya? Menyanyi adalah karunia yang Allah berikan kepada saya,” ujar Ermy yang mengaku belajar menyanyi secara otodidak.
Ermy Kullit mulai berkarier sejak tahun 1973. Salah satu tempat yang menjadi saksi penampilan awalnya antara lain Jaya Pub di Jakarta, tempat dia sering menjadi pengisi acara mulai tahun 1981.
Dengan paduan syal dan baju blazer hitam, celana jins, juga sandal jepit, Ermy menyanyikan “Maafkan Daku Kekasih” saat sesi soundcheck di Jazz Gunung Slamet.
Beberapa warga sekitar yang menyaksikan sesi soundcheck bertepuk tangan riang saat suara Ermy yang ‘serak-serak basah’ keluar dari mulutnya.
“Pasrah! Pasrah!” seru seorang penonton setelah Ermy menyelesaikan lagu tes suara.
Lagu Pasrah yang ditulis Richard Kyoto dan dirilis Ermy pada 1989 itu memang menjadi tembangnya yang paling terkenal.
“Eh, minta lagu dia. Pak, ini baru cek sound,” gurau Ermy yang tampil bersama penyanyi jazz ikonis lainnya, Mus Mujiono, untuk acara Jazz Gunung Slamet.
“Sekarang juga enggak apa-apa,” tutur warga lainnya.
Benar saja, Ermy menyanggupi permintaan dadakan itu.
“Di mana lagi? Ke mana lagi harus kucari tempat untuk bertanya… terus gimana?” lantun Ermy seraya meminta penonton tadi ikut bernyanyi.
Jazz Gunung Slamet awalnya dijadwalkan mulai pada Sabtu (11/05) pukul 15:30 WIB. Hujan yang mengguyur sejak sore hari membuat acara itu tertunda beberapa kali. Beberapa jam kemudian, pada pukul 19:15 WIB, akhirnya acara dimulai
Penampil-penampil lainnya pada Jazz Gunung Slamet yakni Cresensia Naibaho, penyanyi jazz muda asal Yogyakarta, Borderline feat. Nita Aartsen, Mus Mujiono, dan Sal Priadi.
Ermy Kullit yang tampil menjelang penghujung acara pun harus menunggu 2,5 jam di mobil sebelum dirinya bisa tampil. Meski mengaku sempat “deg-degan” karena hujan, saat di atas panggung Ermy tidak menunjukkan tanda-tanda letih.
Berbusana serba hitam dengan selendang panjang dengan corak emas, Ermy membawakan dua lagunya yang paling terkenal, “Pasrah” dan “Kasih”.
Dia juga sempat membawakan lagu berbahasa Inggris “Stand By Me” dari Ben E. King. Sebagai biduanita sejati, Ermy terlihat lihai di atas panggung mulai dari mengajak penonton ikut bernyanyi sampai melontarkan candaan.
“Lagu saya ini keluar tahun 1988, kalian sudah lahir?” guraunya saat menyadari anak-anak muda antusias menyaksikan penampilannya.
“Panggilnya ‘Kakak’,” celetuknya setelah keceplosan memanggil dirinya sendiri “Tante”.
Setelah Ermy mohon pamit kepada penonton, tiba-tiba saja seorang perempuan berbaju merah menaiki panggung dan menyodorkan buket bunga kepadanya.
Perempuan itu, Roshana, 45 tahun, dokter gigi asal Semarang rupanya sudah lama menantikan momen dengan idolanya itu. Dia senang melihat Ermy yang sudah tidak muda lagi tetapi masih prima sebagai seorang penampil.
“Lagu Kasih mengingatkanku kepada orang tua waktu aku masih sekolah. Mendengarkan lagu itu membuatku mengenang masa kecilku. Nyentuh banget,” ujar Roshana yang menyebut kedua orang tuanya sering kali memutar lagu-lagu Ermy waktu dirinya masih di bangku SMA.
“Suaranya unik, mewah, [dan] khas sekali. Dari hati sekali.”

Tasya, 24 tahun, mahasiswi sekaligus vokalis band juga mengenal sosok dan lagu Ermy Kullit meski dirinya termasuk Gen Z. Dia terlihat ikut menyanyikan Kasih bersama para penonton lainnya saat lagu itu dibawakan “Kakak Ermy”.
“Sebetulnya sudah dari mbah kakung [kakek[ aku yang suka muterin lagu-lagu zaman dulu. Ini pertama kalinya mendengarkan Kakak Ermy langsung,” ujar Tasya pada sela-sela acara.
Tasya mengapresiasi lagu-lagu zaman dulu yang punya ciri khas dan bertahan sepanjang masa. Di sisi lain, dia juga menantikan penampilan dari artis yang belakangan ini naik daun seperti Sal Priadi.
Walau sempat harus menunggu berjam-jam karena hujan, Tasya tetap antusias karena baginya acara ini adalah pengalaman baru.
“Ini lebih ke[suasana] gunung dan musik-musiknya nyaman, ramah sekali untuk kuping kita. Kalau kata anak-anak Gen Z: ‘untuk kesehatan kuping kita’,” ujar Tasya.
“Sarannya mungkin dibanyakin, ya, artisnya,” ujarnya tergelak.
Teman Tasya, Dimas, 28 tahun, seorang wiraswasta juga mengapresiasi Jazz Gunung Slamet dan berharap suatu saat bisa membawa ibunya ke acara itu.
“Tadi sempat hujan tapi itu malah membuat suasananya lebih hangat. Atmosfernya beda saja dari konser yang lain. Musisi-musisinya juga keren sekali,” ujar Dimas.

Sal Priadi, musisi muda yang belakangan tengah naik daun melalui lagu-lagu yang liriknya dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti “Dari Planet Lain” dan “Yasudah” mengaku senang sekaligus tidak menyangka dirinya akan mewakili generasi muda di konser Jazz Gunung ini.
Sal sendiri didapuk sebagai penutup acara.
“Kita memang bukan berangkat dari jazz [seperti] para senior yang ada. Beban pasti ada Tadi saja mau berangkat [dari hotel], rasanya kayak ‘wah, beneran nih, main di acara jazz,” ujar Sal kepada BBC News Indonesia.
Meski mengakui musik-musiknya tidak berangkat dari jazz, dalam album terakhirnya, MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS (2024), Sal berkolaborasi dengan musisi Gusti Irwan Wibowo yang akrab dengan aransemen jazz di beberapa tembang.
“Jadi akan 3-4 lagu yang suasananya paling tidak sesuai dengan temanya [Jazz Gunung],” ujarnya.
Sebagai generasi muda musisi Indonesia, Sal tetap berharap musik di Indonesia bisa tetap menjadi “tuan rumah” di negaranya sendiri.
CEO PT Jazz Gunung Indonesia Bagas Indyatmono mengutarakan tujuan utama Jazz Gunung yang pertama kali hadir melalui Jazz Gunung Bromo adalah mempromosikan wisata alam – dalam hal ini pegunungan – yang dijadikan satu paket dengan musik.
Jazz Gunung Series untuk tahun 2024 juga akan menghadirkan Jazz Gunung Bromo pada 17-21 Juli, Jazz Gunung Ijen tanggal 17 Agustus, dan Jazz Gunung Burangrang, 28-29 September.
Akan tetapi, kenapa jazz?
“Jazz itu lentur, musiknya bisa dikolaborasikan dengan musik-musik lainnya. Jazz Gunung juga identik dengan nuansanya etnik. Jazz itu juga pendengar pasti enggak harus ‘rusuh’, secara penyelenggaraan akan relatif lebih aman,” ujar Bagas.
Berubahnya agenda, daftar penampil, juga tantangan cuaca menjadi tantangan dan Jazz Gunung Slamet tetap berjalan sesuai tujuan utamanya: menghibur penonton lewat kehangatan musik bernuansa jazz di tengah suasana alam pegunungan.
Mengutip kata-kata Ermy Kullit setelah tampil: “Apa pun pasti pasti ada akhirnya. Pasti [hujan pun] berhenti.”

BBC News dimiliki oleh BBC (British Broadcasting Corporation), sebuah lembaga penyiaran publik Inggris yang independen dari pemerintah.
Discussion about this post