Menikmati musik jazz tak harus melulu di dalam gedung pertunjukan atau kafe mewah dengan hidangan serba wah. Jazz juga bisa dinikmati di alam terbuka, di bangku sederhana, ditemani udara gunung yang menusuk kulit.
Gemerlap lampu menyinari panggung sederhana, tetapi terlihat artistik dengan susunan instalasi bambu menjulang ke atas sebagai latar belakang. Sebuah patung pemain saksofon berdiri gagah di tengah panggung yang sedang menampilkan secara khusus suara merdu penyanyi Monita Tahalea di BRI Jazz Gunung Series 2, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (25/7/2025) malam.
Tak tanggung-tanggung, selama sekitar satu jam Monita menampilkan 13 lagu mulai dari ”Solenna” hingga ”Laila”. Pada dua lagunya, ”Merona” dan ”Kehidupan”, Monita tampil bersama dengan pianis jazz Sri Hanuraga yang dikenal dengan Aga.
Meskipun di tengah hutan, Monita tampil elegan dan rapi dengan setelan jas blazer biru longgar serta berlengan panjang. Pertunjukan ini sangat istimewa bagi Monita yang baru berulang tahun ke-38 tahun pada 21 Juli lalu.

Monita yang sudah tiga kali tampil di Jazz Gunung sangat bersemangat. Baginya, tampil di festival ini membuat dirinya tetap membumi.
”Ketika musiknya langsung menyatu dengan alam tuh kayak frekuensinya langsung nemu aja bisa bawain lagu-lagu saya yang inspirasinya juga kebanyakan dari apa yang ciptaan Tuhan ini,” ujarnya.
Keseruan penampilan Monita memberikan kehangatan di tengah dinginnya Gunung Bromo yang keindahannya tak diragukan lagi. Itu menular di hari berikutnya, BRI Jazz Gunung Series 2. Gebrakan musik rock yang ditunjukkan Badrus Zeman bersama band Lhorju’ memberikan suasana yang berbeda.
Ketika musiknya langsung menyatu dengan alam tuh kayak frekuensinya langsung ’nemu’ aja bisa ’bawain’ lagu-lagu saya yang inspirasinya juga kebanyakan dari apa yang ciptaan Tuhan ini.
Meskipun tak sejalan dengan gaya musik jazz, Lhorju’ tetap memberikan keunikan tersendiri karena membawa kehidupan Madura di dalam lagu-lagunya. Itu cukup mewakili Jawa Timur sebagai tuan rumah. Badrus tampil penuh energik saat memainkan gitarnya. Jarinya menari-nari di atas senar dan menghasilkan melodi unik khas pesisir yang menjadi nyawa dari delapan lagu yang dibawakannya.

Mendengarkan ”Abhantal Ombak” seperti diajak Lhorju’ ke laut yang penuh tantangan. Meskipun tak cukup mengerti liriknya karena menggunakan bahasa Madura, tetapi musik mereka cukup untuk menjelaskan bagaimana perjuangan keras nelayan yang menyerahkan hidupnya di atas laut.
Garis merah jazz adalah improvisasi, ’udah’ itu doang.
Setelah digemparkan dengan penampilan energik Lhorju’, Bintang Indrianto menjadi pintu gerbang menuju esensi dari sebuah festival musik jazz melalui delapan lagu instrumental yang dibawakannya. Permainan basnya yang penuh improvisasi dengan menggabungkan elemen musik dari genre lain seperti rock dan funk khas fusion jazz cukup memberikan kehangatan di sore yang mulai mendingin.
Selain Bintang, melodi apik yang keluar dari permainan gitar Denny Chasmala menggambarkan betapa uniknya musik jazz itu. Jazz seperti tak sekadar menyuguhkan hiburan, tetapi mempertontonkan kemampuan seorang musisi dalam berimprovisasi.
”Garis merah jazz adalah improvisasi, udah itu doang. Jazz sama dengan improvisasi. Sama dengan itu bisa dibaca bisa improvisasi, harus improvisasi, silakan improvisasi, enggak ada yang melarang jangan improvisasi,” jelas Bintang yang juga menjadi kurator dari Jazz Gunung.

Setelah diberikan sentuhan rock oleh Lhorju’ dan Bintang, penyanyi jazz muda Natasya Elvira tampil klasik dan elegan khas swing jazz yang mengentak. Dia tampil bersama dengan pemain musik yang digodok melalui Jazz Camp Bromo.
Di lagu terakhir, Natasya bernyanyi bersama vokalis dari Jazz Camp Bromo, Febi dan Calista, yang diiringi oleh para mentor, Kevin Yosua (bas), Sri Hanuraga (pianis), Hansen Arief (drumer), dan Alfado Jacob (gitaris). Mereka membawakan lagu ”Bye Bye Blackbird” yang cukup populer karya Ray Henderson dan Mort Dixon.
Setelah jeda sekitar sejam, penonton dihibur gitaris jazz kawakan Tohpati Ario Hutomo yang tampil bersama grup musik Tohpati Ethnomission. Mereka membawakan tujuh lagu instrumental dengan menggabungkan alat musik tradisional seperti seruling dan kendang.
Lagu-lagu yang dibawakan Tohpati memperlihatkan keanekaragaman budaya Indonesia yang tergambarkan dalam lagu-lagu seperti ”Janger”, ”Barong”, dan ”Reog”. Mereka memperlihatkan bahwa jazz juga bisa dibawakan dengan menggunakan alat musik tradisional.

Setelah menikmati jazz dengan instrumen tradisional, grup musik asal Perancis, Rouge, menampilkan tujuh lagu. Salah satu lagu dari mereka, ”Louves” yang berarti serigala, menggambarkan kehidupan di hutan.
Setelah sejak siang bergumul dengan rock dan jazz, bintang utama festival yang sudah dinanti, Salmantyo Ashrizky Priadi atau yang populer dengan nama panggung Sal Priadi, unjuk gigi. Musisi asal Malang, Jatim, tersebut tampil secara konseptual layaknya drama musikal.
Meskipun bergenre pop, Sal Priadi berusaha membawakan lagu-lagunya dengan nuansa jazz yang penuh improvisasi. ”Saya enggak bilang jazz, tetapi nuansanyalah lebih kurang bisa dibilang ke arah sana gitu, jazz,” ujarnya.
Dia sangat menguasai panggung dan terus berusaha berkomunikasi dengan penonton. Bahkan, Sal Priadi mengakhiri pertunjukannya dengan berdiri di tengah-tengah kerumunan penonton.
Improvisasi yang dilakukan Sal Priadi menutup pertunjukan festival yang sudah berjalan selama 17 tahun dan berlangsung sebanyak 18 kali. Tahun ini, ada dua seri. BRI Jazz Gunung Series 1 dilaksanakan pada 19 Juli 2025 dengan bintang utama RAN.
Jazz Gunung seperti mengembalikan titah musik ini yang terinspirasi dari teriakan budak Afrika-Amerika. Jazz tidak hanya dinikmati orang berduit di dalam gedung mewah, tetapi juga bisa menghibur semua kalangan di alam terbuka.

Kompas.id adalah surat kabar nasional Indonesia di bawah naungan PT Kompas Media Nusantara
Discussion about this post