Rangkaian Jazz Gunung Series 1 Bromo resmi dibuka oleh pertunjukan interaktif dari Papermoon Puppet Theatre bersama 58 Siswa SDN 1 Jetak Kab Probolinggo, meraka diajak berkeliling area sekitar sembari menyaksikan penampilan sarat makna dari Papermoon Puppet Theatre dan dilanjutkan dengan dengan workshop pembuatan boneka dari buah-buahan serta sayur-sayuran.
View this post on Instagram
Sebelum mengajak Kawan semua menyelami hari pertama Jazz Gunung Series 1 Bromo lebih jauh, coba bayangkan bagaimana rasanya menikmati alunan music Jazz pada suhu 9-14 derajat celcius? Tidak heran Jazz Gunung Bromo dijuluki sebagai Festival Jazz Tertinggi di Indonesia karena terletak pada ketinggian lebih dari 2000 meter diatas permukaan laut.
View this post on Instagram
Waktu belum genap menunjukkan pukul 15:00 tapi kabut perlahan mulai menyelimuti Amphiteater Jiwa Jawa. Hal ini tidak bertahan lama, setelah suara tajam harmonica mulai membelah kesunyian. Bak pintu gerbang yang terbuka, kabut mulai mengungkap tabirnya. Emptyyy dengan gagah berani melangkahkan kakinya, memainkan Jazz progresif bercampur rock yang dinamis.
Penonton seakan diajak menikmati suasana dramatis, tegang dan gembira secara bersamaan. Emptyyy yang digawangi oleh Karel William (drum), Mikail Alrabbdia (gitar) dan Rega Dauna (harmonika) dengan percaya diri menampilkan karya terbaik mereka. Hampir diujung perjumpaan, Emptyyy memainkan salah satu lagu band Grunge kenamaan asal Amerika Soundgarden dengan Judul Black Hole Sun secara instrumental.
View this post on Instagram
Setelah menegang Bersama Emptyyy, Jamie Aditya & The Mezzroles datang membawa menu yang jauh berbeda. Sajian kali ini memberikan sensasi suasana remang di Jazz Bar medium pertengahan 1900-an. Ia sempat berujar, suasana dingin semakin membakar semangatnya untuk segera bernyanyi. Lagu-lagu seperti Sweet Marijuana Brown, Reet Petite & Gone, Little Man Who Wasn’t There dan Kiss The Build a Dream On berhasil ditampilkan dengan apik nan enerjik ala Jamie Aditya.
Jamie juga membawakan lagu dari salah satu Musisi yang menginspirasinya Lil Hardin Armstrong dengan judul Harlem on Saturday Night. Sebagai informasi, Harlem menjadi salah satu kota yang kental akan hal kesenian, budaya dan music warga African-American yang terletak di Manhattan, NYC. Hal paling mengejutkan adalah saat Jamie Bersama The Mezzrolers membawakan Your Feet’s Too Big karya Fats Waller, ia mengajak penonton untuk bernyanyi bersama pada beberapa bagian. Jamie dan jiwanya seakan melebur, menunjukkan gestur kenikmatan, hingga berujung tepuk tangan meriah dari penonton. Jamie memilih Hey Bartender sebagai “pungkasan”, sebuah pernyataan bahwa penampilan perdana Jamie Aditya di Jazz Gunung Bromo harus dirayakan, cheers!
View this post on Instagram
Kini tiba saatnya kelompok bentukan Alm. Djaduk Ferianto tampil, Kua Etnika kali ini tampil wujud aslinya tanpa kolaborasi dengan artis lain. Seakan menjadi pengantar menuju senja, Kua Etnika mendendangkan lagu Matahari yang di medley dengan Burung Hantu, memutar Kembali memori masa kecil dengan suasana hangat di teras rumah bersama orang tercinta. Bagi Kua Etnika 19 Juli 2025 menjadi lebih special karena bertepatan dengan ulang tahun Alm. Djaduk Ferianto.
Pada lagu kedua, Silir Pujiwati vokalis Kua Etnika membawakan lagu “Nguntapke” sebagai hadiah yang dipersembahkan khusus untuk Alm. Djaduk Ferianto. Momen ini terasa sangat sentimental mengingat peran Besar Alm. Djaduk Ferianto pada perkembangan dunia jazz nasional terutama bagi Jazz Gunung Indonesia. Tidak hanya itu, Kua etnika juga mengajak penonton kontemplasi dan bermunajat sembari mengenang jasa nama-nama besar pada belantika Jazz Nasional seperti Djaduk Ferianto dan Idang Rasjidi.
“Duh Gusti ingkang welas lan asih, dateng paduko kulo maminto waras rahayu” sebuah munajat yang tidak hanya memohon Kesehatan tetapi juga keselamatan pada berbagai aspek kehidupan yang sedang kita lakukan sekarang. Uniknya, Kua Etnika tidak ingin tampil sendiri kali ini, mereka mengajak penonton untuk menjadi bagian dari kelompok mereka dengan berkolaborasi melalui bunyi pukulan kentongan diiringi langsung oleh Kua Etnika. Suasana yang mulanya khidmat dan penuh pengharapan langsung berubah menjadi senyum bahagia bagi dan enerjik untuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk kulit.
View this post on Instagram
Pertunjukan Kembali bergulir, kini tiba giliran Love Is mengajak Jamaah Al-Jazziyah menyelami music mereka. Love Is tampil dalam format kwartet, Jason Mountario (bas), Sri Hanuraga (pianis), Kelvin Andreas (drummer) dan Rainer James (saxophone). Rumit, berani dan terencana, sebuah gambaran jelas bagaimana Love Is tampil pada malam ini.
Seperti pada lagu kedua ‘Hush Hunt”, langsung menampilkan permainan intense nan rumit namun kemudian Sri Hanuraga bermain rapi mengiringi improvisasi dari personal lainnya. Hingga pada puncaknya, mendekati akhir lagu Rainer James ambil bagian, suara saxophone yang bulat bak mencerminkan rasa percaya diri dan keberanian. Lagu ini seakan membawa penonton pada suasana lautan luas berombak ganas yang diarungi dengan gagah berani, melalui permainan emosi ini semakin meyakinkan bahwa komposisi ini memang sangat terencana dengan apik.
View this post on Instagram
Karimata sebagai line-up performer selanjutnya menunjukkan skillnya dalam megeksplorasi setiap lagu jazz yang kaya akan sentuhan etnik. Band Karimata di BRI Jazz Gunung Series 1 Bromo tampil dengan formasi Candra Darusman (kibor), Aminoto Kosin (kobor), dan Budhy Haryono (drum) sebagai personel asli, ditemani Indro Hardjodikoro (bass), Dony Koeswinarno (flute, saksofon), dan Noldy Benyamin (gitar).
Lagu-lagu instrumental seperti “Dahaga”, “Relief”, “Gringgo”, “Kharisma”, “Diatas Batas”, dan “Why Not” jadi andalan Karimata untuk menghangatkan suasana di Bromo yang dingin. Di perhelatan BRI Jazz Gunung Series 1 Bromo kali ini, Karimata tidak sendiri. Group yang telah lama dikenal di era 80-an ini berkolaborasi dengan Windy Triadi, Penyanyi muda asal Malang untuk membawakan lagu “Masa Kecil”, “Hari Ini Milik Kita”, dan “Kisah Kehidupan”.
Di lagu tersebut Karimata mengajak kita untuk mengenang indahnya masa kecil lalu dihadapkan pada realita kehidupan tentang menerima dan terus berjalan melalui hari ini milik kita, setelahnya diberi penghiburan tentang keteguhan pada prinsip lewat suasana ceria pada lagu kisah kehidupan. Penampilan Karimata dengan Wendy Triadi terbukti sukses. Penonton memberi sambutan meriah untuk penampilan mereka.
Candra Darusman mengatakan, Karimata dalam penampilannya beberapa tahun terakhir, memang kerap membawa penyanyi kolaborator. Konsep menghadirkan musisi lokal berusaha untuk tetap dipertahankan. Pasalnya, kata Candra, hasilnya selalu memuaskan. “Waktu di Bali, penyanyinya juga hebat. Di Jogja, kemudian di Bandung, dan sekarang di Bromo ini ada penyanyi dari Malang, Wendy Triadi, keren juga. Jadi, terbukti bahwa artis lokal ini tidak kalah, bahkan kadang-kadang lebih bagus. Dan kita ingin terus ikut sertakan mereka,” tambahnya. Di akhir penampilan, Karimata kembali membawakan tiga karya instrumental, yaitu “Kharisma”, “Di atas Batas”, dan “Why Not”.
View this post on Instagram
Malam semakin larut namun antusias penonton BRI Jazz Gunung Series 1 Bromo belum surut, RAN yang didapuk sebagai penampil terakhir langsung membawakan tembang hits-nya secara maraton mulai dari Hey Tunggu Dulu, Selamat Pagi, Jadi Gila, dan Sepeda.
Perdana tampil di Jazz Gunung, RAN mengajak penonton untuk menikmati lagu-lagunya dengan nuansa yang berbeda, sekaligus menyanyikan lagu perdana Masih Takut Mencinta yang baru rilis kepada Jama’ah Al-Jazziyah. Lagu Masih Takut Mencinta sendiri merupakan bagian dari fase eksperimental album Teater Nestapa. Lagu ini membawa tema penyembuhan dan ketakutan untuk mencintai kembali setelah gagal dalam hubungan.
Harmoni vokal khas RAN dipadukan dengan semangat penonton menjadikan momen penutup ini terasa begitu hidup dan penuh euforia. Dengan latar langit malam Bromo dan sorotan cahaya panggung yang dramatis lagu berjudul Pandangan Pertama menjadi pamungkas dalam menutup Jazz Gunung Bromo Series 1. Penampilan mereka menjadi klimaks yang sempurna — menyatukan tawa, nyanyian, dan semangat Jama’ah al-Jazziyah dalam satu pengalaman yang tak terlupakan.

Jazz Gunung Indonesia merupakan penyelenggaraan musik etnik berskala internasional yang diprakarsai oleh tiga sahabat: Sigit Pramono, Butet Kartaredjasa, dan Almarhum Djaduk Ferianto.
Jazz Gunung Series merupakan salah satu wujud dedikasi Jazz Gunung Indonesia untuk merambah ke gunung-gunung yang tersebar di Indonesia dengan mengangkat pariwisata dan kearifan lokal daerah yang diusung
Discussion about this post