Halaman Hotel Java Banana di Desa Wonotoro, Kec. Sukapura, Kab. Probolinggo, tampak sedikit sesak. Aroma perpaduan “panas-dingin” sudah terasa sejak para calon penonton melintasi jalur Sukapura-Wonotoro. Sejumlah spanduk dan banner bertuliskan “Jazz Lebih Asyik di Gunung” dan “Main Jazz di Gunung” langsung menyambut.
Di atas ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, para penggemar jazz gunung ini bisa disebut ‘jamaah Aljaziyah’,” ujar Butet Kartaredjasa yang berduet dengan adiknya, Djaduk Ferianto. Dua pembawa acara kocak itu ikut menyegarkan suasana panggung alami di pelataran hotel. Para penonton juga duduk lesehan di tataran tanah yang dibentuk mirip teras siring. Hanya beberapa kursi dan meja yang ditata di depan panggung untuk tamu-tamu VVIP dan VIP.
Kali ini panggung “Jaz Gunung 2010” lebih meriah dibandingkan perhelatan tahun lalu. Lima grup tampil di “gundukan tanah” yang menjadi panggung terbuka, yakni ESQI:EF feat Syaharani dan Donny Suhendra (Jakarta), I Wayan Balawan dan Batuan Ethnic Fusion (Bali), C Two Six (Komunitas Jaz C26 Surababa), Androginn (Malang Jaz Forum), dan Monday Night Band (Jogjakarta).
Penikmat jazz juga dihibur dengan penampilan para petani Tengger yang mencoba nge-jazz bersama Djaduk Ferianto. Dengan gamelan, sejumlah petani sayur-mayur itu pun memadu jazz dengan kesenian Jathilan. Iramanya terdengar seperti gamelan yang mengiringi adegan bodholan (persiapan perang) pada pergelaran wayang kulit.
“Kita sekarang menampilkan repertoar berjudul ‘Merenung Sedakep Gunung’,” ujar anak kandung Bagong Kusudiardjo itu. Ditemani seorang personel KUA Etnika, Djaduk pun seolah merapalkan mantera-mantera mirip para dukun Tengger, saat bernyanyi.
Dari sekian penampilan, Balawan dan Syaharani terlihat paling memikat penonton. Tepuk tangan dan yel-yel terus membahanan mengiringi penampilan mereka. Apalagi saat keduanya tampil bersama di akhir pertunjukkan.

Balawan yang oleh Butet dijuluki “Si Jari Sakti” dengan cekatan menampilkan kelincahan jari-jarinya memetik dawai gitarnya. Sejumlah personel Batuan Ethnic mengiringi Balawan dengan gamelan tradisional Bali seperti saron, kendang, dan rebab.
“Saya ingin jazz yang bernuansa etnik mewarnai pentas dunia,” ujar pria asal Sukowati, Bali itu.
Soal kecepatan memainkan senar-senar gitar, Balawan memang jagonya. “Dengarkan saya mau memainkan gitar dengan kecepatan 1 detik 12 knot,” ujarnya sambil tersenyum.
Balawan yang mengaku sudah melanglang buana untuk memperkenalkan jazz bernuansa etnik itu mengaku kagum dengan keindahan Gunung Bromo. “Bromo tidak kalah keindahannya dibandingkan panorama di Eropa, apalagi diwarnai pertunjukan jazz,” ujarnya.

Penampilan Syaharani di penghujung acara semakin menghangatkan suasana. Hawa dingin yang merasuk tulang tidak dirasakan lagi, apalagi setelah penyanyi asal Batu itu mengajak penonton berjingkrak-jingkrak.
Selain Balawan dan Syaharani, sejumlah grup jazz lain juga tampil memukau. “Di antaranya ada grup TDT kepanjangan dari ‘tak dung tak’ dari mahasiswa Unesa Surabaya,” ujar Butet. TDT membawakan lagu-lagi Osing (Banyuwangi) dengan nuansa jazz seperti lagu Bulan Andhung-andhung, Ojo Cilik Ati, hingga Gelang Alit.
Penampilan grup Monday Night dari Jogkarta juga mengundang tepuk tangan penonton. “Namanya Monday Night karena di Jogja biasa tampil Senin Malam,” ujar Butet. Selain itu penonton juga dihibur grup dari Malang (Androginn) dan Surabaya (C26).

Jazz Gunung Indonesia merupakan penyelenggaraan musik etnik berskala internasional yang diprakarsai oleh tiga sahabat: Sigit Pramono, Butet Kartaredjasa, dan Almarhum Djaduk Ferianto.
Jazz Gunung Series merupakan salah satu wujud dedikasi Jazz Gunung Indonesia untuk merambah ke gunung-gunung yang tersebar di Indonesia dengan mengangkat pariwisata dan kearifan lokal daerah yang diusung
Discussion about this post